6 Mei 2013

StreetFood, Potensi Bisnis Uniknya Ragam Kuliner Indonesia

“Nasi empat, sate telur puyuh satu, sate bakso satu, gorengan tiga, jahe satu, secang satu,” kata suami merinci makanan yang telah kami makan berdua.
“Sembilan belas ribu,” kata si abang penjual angkringan langganan kami.

Itulah selintas manisnya menikmati malam di  sebuah warung angkringan pinggir jalan. Makan di angkringan memang menjadi salah satu kegemaran kami sejak dulu. Selain karena harganya yang murah, beragam menu yang disajikan sangat cocok dengan lidah kami, Hanya dengan kurang dari 20ribuan, kami sudah dapat menikmati 4 bungkus nasi kucing lengkap dengan lauk pauk dan minuman yang dapat kami pilih sendiri.
 
Nasi kucing adalah sebutan untuk seporsi kecil nasi yang telah dibungkus dengan dilengkapi sambal. Untuk menemaninya, tersaji pula mie goreng, sate telur puyuh, sate ayam, sate bakso, sate jerohan, gorengan, dan aneka jajan pasar, di atas sebuah gerobak angkringan. Pembeli dapat memilih sendiri makanan kesukaannya untuk langsung dimakan atau di bakar terlebih dahulu di atas tungku arang.  Biasanya penjual menawarkan untuk membakarnya lebih dulu di atas tungku arang, dan kami tinggal pilih mana makanan yang dipesan. Di sini tersedia berbagai jenis minuman hangat dan dingin seperti teh, jahe, secang, susu, kopi, dan lain-lain.
Angkringan nasi kucing adalah salah satu ragam street food Indonesia. Ada banyak ragam lainnya, tentu lain tempat lain pula ragamnya. Setiap daerah memiliki kekhasan ragam makanan yang mendominasi sajian street food, meskipun ada pula jenis makanan khas dari luar daerah yang juga dijual. Misalnya ada soto Betawi, kerak telor, bubur ayam, nasi uduk, dan mie ayam yang mendominasi penjual street food di Jakarta. Ada asinan dan toge goreng di Bogor. Sedangkan di bandung, banyak kita jumpai siomay, batagor, nasi timbel, dan nasi bakar. Di Jawa Tengah, ada nasi liwet, tengkleng dan tongseng Solo, tahu gimbal dan lumpia Semarang, nasi megono Pekalongan, sate Tegal, es dawet Banjarnegara, soto Kudus, serta nasi gandul Pati. Ada pula gudeg dari Yogya. Kemudian di Jawa Timur, ada rawon, pecel Madiun, soto Lamongan, rujak cingur, dan bakwan Malang. Sate ayam dari Madura. Di Sumatera, ada nasi Kapau, pempek Palembang, ayam tangkap, mie Aceh, gulai, pindang Patin dan rendang Padang. Di Kalimantan, ada ketupat Kandangan, sop Konro, dan soto Banjar. Ada coto Makasar di Sulawesi. Ada pula ragam makanan internasional dan masih banyak lagi lainnya. Inilah bukti kekayaan ragam kuliner Indonesia, tercermin melalui ragam makanan yang dijual di street food. Warung angkringan sendiri asalnya dari Jawa, tepatnya Jogja. Di pinggiran kota Jogja dengan mudah bisa kita temui warung-warung angkringan yang terkenal dengan sebutan nasi kucing ini. Kini, warung angkringan tidak hanya “nangkring” di kota Jogja saja, tapi juga sudah merambah hingga ke Jakarta.

Street food atau makanan kaki lima yang dijual di pinggir jalan ada dalam keseharian masyarakat Indonesia. Di kampus, perkantoran, pasar, obyek wisata dan seluruh sudut jalan kota hingga perkampungan, dapat kita jumpai beragam street food tersebut. Semua kalangan membutuhkan bahkan memburunya. Di pagi hari misalnya, saat semua orang sibuk mempersiapkan aktivitas hariannya, tak jarang mereka tidak sempat lagi menyiapkan sendiri sarapannya. Kepada street food inilah mereka bergantung. Sehingga tak heran jika pada pagi buta sekalipun street food ramai oleh pembeli. Demikian juga di siang hingga malam hari, khususnya pada jam-jam makan, street food tak pernah sepi oleh pembeli. Street food sangat akrab dengan semua kalangan, dari pelajar, mahasiswa, pekerja kantoran, semua membutuhkannya. Bahkan saat bepergian ke luar daerah baik untuk suatu keperluan, maupun liburan, pasti kita tidak akan melewatkan kesempatan untuk berburu street food ini.

Mengapa street food diburu, tentu karena keunikannya yang luar biasa. Pertama soal rasa, ‘lidah memang tak pernah bohong’, sebuah jargon yang diusung oleh salah satu iklan produk makanan, memang menjadi alasan utama penikmat kuliner dalam memilih suatu jajanan. Jika rasanya enak dan sesuai dengan lidah masyarakat setempat, maka tak peduli lagi sesak dan panasnya sebuah tempat jajan, tetaplah diburu dan dikerumuni oleh penikmat kuliner. Cita rasa tradisional inilah yang masih menjadi kekhasan dan keunggulan street food di Indonesia. Kedua adalah harga, harga street food relatif murah dan dapat dijangkau semua kalangan. Bahkan jika terpaksa tiap hari harus bergantung pada street food ini, tidak akan membuat bangkrut di kantong, terutama buat anak kos atau siapapun yang memiliki keterbatasan waktu untuk memasak sendiri makanannya.
Ketiga, kualitas, terutama dalam hal rasa dan kebaruan. Meskipun murah street food bukan murahan. Makanan dimasak dengan bahan-bahan yang fresh, baru dan segar dari pasar, sehingga rasanya enak dan nikmat. “Kualitas baik tapi harga murah, kok bisa?” ini pasti yang ada di benak kita. Kebanyakan street food hadir di tempat-tempat non pajak sehingga kalau toh harus membayar retribusi PKL (Pedagang Kaki Lima), masih tergolong murah, dibanding sewa dan pajak restoran di mal atau tempat makan “berkelas” lainnya. Selain itu, street food juga bebas PPN (pajak pendapatan) yang biasanya dibebankan pengelola restoran kepada pembeli. Keempat, mudah didapat. Street food ada di sekitar kita, sehingga sangat mudah untuk mendapatkannya.
Keempat keunikannya ini menyebabkan street food menjadi sangat digemari dan diburu berbagai kalangan, ini menunjukkan tingginya supply and demand, jumlah permintaan dan penawaran yang berimbang di pasar. Sebuah potensi bisnis di bidang kuliner, yang jika digarap serius akan mendatangkan keuntungan lebih dari sekadar potensi. Dalam bisnis, terdapat istilah 4P marketing mix, yaitu product, price, place, dan promotion. Street food sebagai sebuah potensi bisnis setidaknya dapat memenuhi keempat aspek tersebut. Keunikan rasa dan kualitas makanan yang dijual di street food merupakan product yang potensial. Kemudian, harga yang murah dan terjangkau semua kalangan adalah keunggulan dari aspek price. Sedangkan place adalah tempat atau distribusi. Kemudahan konsumen untuk menikmati street food, karena keberadaan tempat jualannya yang mudah dijangkau, merupakan potensi dari aspek place ini. Aspek terakhir adalah promotion. “Street food dengan cita rasa tradisional, berpasar global” adalah pesan (message) potensial yang dapat diangkat dalam kegiatan promotionnya. Inilah PR-pekerjaan rumah kita semua untuk menjaga kelestarian street food Indonesia dan mengkomunikasikannya ke kancah global. Perlu kerjasama berbagai pihak untuk terus mempromosikan potensi street food Indonesia baik oleh pemerintah maupun swasta, pengusaha maupun pecinta kuliner. Maju terus street food Indonesia!!!


Artikel ini diikutsertakan dalam Femina Foodlovers Blog Competition 2013


1 komentar:

  1. Dan pemenangnya adalah....

    http://www.femina.co.id/femina/pengumuman/inilah.pemenang.femina.foodlovers.blog.competition.2013/010/004/57

    Selamat buat para pemenang!!!

    BalasHapus