“Nasi empat, sate telur puyuh satu,
sate bakso satu, gorengan tiga, jahe satu, secang satu,” kata suami merinci makanan yang
telah kami makan berdua.
“Sembilan belas ribu,” kata si
abang penjual angkringan langganan kami.
Itulah selintas manisnya
menikmati malam di sebuah warung
angkringan pinggir jalan. Makan di angkringan memang menjadi salah satu
kegemaran kami sejak dulu. Selain karena harganya yang murah, beragam menu yang
disajikan sangat cocok dengan lidah kami, Hanya dengan kurang dari 20ribuan,
kami sudah dapat menikmati 4 bungkus nasi kucing lengkap dengan lauk pauk dan
minuman yang dapat kami pilih sendiri.
Nasi kucing adalah
sebutan untuk seporsi kecil nasi yang telah dibungkus dengan dilengkapi sambal.
Untuk menemaninya, tersaji pula mie goreng, sate telur puyuh, sate ayam, sate
bakso, sate jerohan, gorengan, dan aneka jajan pasar, di atas sebuah gerobak
angkringan. Pembeli dapat memilih sendiri makanan kesukaannya untuk langsung
dimakan atau di bakar terlebih dahulu di atas tungku arang. Biasanya penjual menawarkan untuk membakarnya
lebih dulu di atas tungku arang, dan kami tinggal pilih mana makanan yang
dipesan. Di sini tersedia berbagai jenis minuman hangat dan dingin seperti teh,
jahe, secang, susu, kopi, dan lain-lain.
Angkringan nasi kucing
adalah salah satu ragam street food Indonesia.
Ada banyak ragam lainnya, tentu lain tempat lain pula ragamnya. Setiap daerah
memiliki kekhasan ragam makanan yang mendominasi sajian street food, meskipun ada pula jenis makanan khas dari luar daerah
yang juga dijual. Misalnya ada soto Betawi, kerak telor, bubur ayam, nasi uduk,
dan mie ayam yang mendominasi penjual street
food di Jakarta. Ada asinan dan toge goreng di Bogor. Sedangkan di bandung,
banyak kita jumpai siomay, batagor, nasi timbel, dan nasi bakar. Di Jawa
Tengah, ada nasi liwet, tengkleng dan tongseng Solo, tahu gimbal dan lumpia
Semarang, nasi megono Pekalongan, sate Tegal, es dawet Banjarnegara, soto
Kudus, serta nasi gandul Pati. Ada pula gudeg dari Yogya. Kemudian di Jawa
Timur, ada rawon, pecel Madiun, soto Lamongan, rujak cingur, dan bakwan Malang.
Sate ayam dari Madura. Di Sumatera, ada nasi Kapau, pempek Palembang, ayam tangkap,
mie Aceh, gulai, pindang Patin dan rendang Padang. Di Kalimantan, ada ketupat
Kandangan, sop Konro, dan soto Banjar. Ada coto Makasar di Sulawesi. Ada pula ragam
makanan internasional dan masih banyak lagi lainnya. Inilah bukti kekayaan
ragam kuliner Indonesia, tercermin melalui ragam makanan yang dijual di street food. Warung angkringan sendiri
asalnya dari Jawa, tepatnya Jogja. Di pinggiran kota Jogja dengan mudah bisa
kita temui warung-warung angkringan yang terkenal dengan sebutan nasi kucing
ini. Kini, warung angkringan tidak hanya “nangkring” di kota Jogja saja, tapi
juga sudah merambah hingga ke Jakarta.
Street
food
atau makanan kaki lima yang dijual di pinggir jalan ada dalam keseharian
masyarakat Indonesia. Di kampus, perkantoran, pasar, obyek wisata dan seluruh
sudut jalan kota hingga perkampungan, dapat kita jumpai beragam street food tersebut. Semua kalangan membutuhkan bahkan memburunya. Di pagi hari
misalnya, saat semua orang sibuk mempersiapkan aktivitas hariannya, tak jarang
mereka tidak sempat lagi menyiapkan sendiri sarapannya. Kepada street food inilah mereka bergantung.
Sehingga tak heran jika pada pagi buta sekalipun street food ramai oleh pembeli. Demikian juga di siang hingga malam
hari, khususnya pada jam-jam makan, street
food tak pernah sepi oleh pembeli. Street
food sangat akrab dengan semua kalangan, dari pelajar, mahasiswa, pekerja
kantoran, semua membutuhkannya. Bahkan saat bepergian ke luar daerah baik untuk
suatu keperluan, maupun liburan, pasti kita tidak akan melewatkan kesempatan
untuk berburu street food ini.
Mengapa street food diburu, tentu karena
keunikannya yang luar biasa. Pertama soal rasa, ‘lidah memang tak pernah
bohong’, sebuah jargon yang diusung oleh salah satu iklan produk makanan,
memang menjadi alasan utama penikmat kuliner dalam memilih suatu jajanan. Jika
rasanya enak dan sesuai dengan lidah masyarakat setempat, maka tak peduli lagi
sesak dan panasnya sebuah tempat jajan, tetaplah diburu dan dikerumuni oleh
penikmat kuliner. Cita rasa tradisional inilah yang masih menjadi kekhasan dan
keunggulan street food di Indonesia. Kedua
adalah harga, harga street food
relatif murah dan dapat dijangkau semua kalangan. Bahkan jika terpaksa tiap
hari harus bergantung pada street food
ini, tidak akan membuat bangkrut di kantong, terutama buat anak kos atau
siapapun yang memiliki keterbatasan waktu untuk memasak sendiri makanannya.
Ketiga, kualitas,
terutama dalam hal rasa dan kebaruan. Meskipun murah street food bukan murahan. Makanan dimasak dengan bahan-bahan yang fresh, baru dan segar dari pasar,
sehingga rasanya enak dan nikmat. “Kualitas baik tapi harga murah, kok bisa?”
ini pasti yang ada di benak kita. Kebanyakan street food hadir di tempat-tempat non pajak sehingga kalau toh
harus membayar retribusi PKL (Pedagang Kaki Lima), masih tergolong murah,
dibanding sewa dan pajak restoran di mal atau tempat makan “berkelas” lainnya.
Selain itu, street food juga bebas
PPN (pajak pendapatan) yang biasanya dibebankan pengelola restoran kepada
pembeli. Keempat, mudah didapat. Street food
ada di sekitar kita, sehingga sangat mudah untuk mendapatkannya.
Keempat keunikannya ini
menyebabkan street food menjadi
sangat digemari dan diburu berbagai kalangan, ini menunjukkan tingginya supply and demand, jumlah permintaan dan
penawaran yang berimbang di pasar. Sebuah potensi bisnis di bidang kuliner,
yang jika digarap serius akan mendatangkan keuntungan lebih dari sekadar
potensi. Dalam bisnis, terdapat istilah 4P marketing mix, yaitu product, price, place, dan promotion. Street food sebagai sebuah
potensi bisnis setidaknya dapat memenuhi keempat aspek tersebut. Keunikan rasa
dan kualitas makanan yang dijual di street
food merupakan product yang
potensial. Kemudian, harga yang murah dan terjangkau semua kalangan adalah
keunggulan dari aspek price. Sedangkan
place adalah tempat atau distribusi.
Kemudahan konsumen untuk menikmati street
food, karena keberadaan tempat jualannya yang mudah dijangkau, merupakan
potensi dari aspek place ini. Aspek
terakhir adalah promotion. “Street food dengan cita rasa
tradisional, berpasar global” adalah pesan (message)
potensial yang dapat diangkat dalam kegiatan promotionnya. Inilah PR-pekerjaan rumah kita semua untuk menjaga
kelestarian street food Indonesia dan
mengkomunikasikannya ke kancah global. Perlu kerjasama berbagai pihak untuk
terus mempromosikan potensi street food
Indonesia baik oleh pemerintah maupun swasta, pengusaha maupun pecinta kuliner.
Maju terus street food Indonesia!!!
Artikel
ini diikutsertakan dalam Femina Foodlovers Blog Competition 2013